Dalam bait lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi kondang Aceh Rafly Kande disebutkan
Piyoh-piyoh
Neu cok ranub nyöe pat hai
Ranub si Gapu neu pajôh sigra
Ranub geugaseh peu mulia jamèe
Adat kamoë mee keu jamèe teuka...
Kurang lebih seperti dalam lirik lagu itulah makna sirih dalam kehidupan masyarakat Aceh, kemuliaan dan rasa hormat kepada tamu yang berkunjung kerumah orang Aceh pada waktu duku. Namun sekarang kebudayaan itu sudah mulai luntur dalam kehidupan masyarakat Aceh dewasa ini, Sirih yang konon dipercaya sebagai obat herbal yang sangat bermanfaat bagi tubuh kita tidak lagi mempunyai tempat di era modern ini, Ranup aceh kalah bersaing dengan cemilan yang tersedia di pasaran.
Sirih sekarang hanya digunakan sebagai pelengkap pada acara resmi kebudayaan saja seperti pada kegiatan pertunangan (me ranub) pada rangkaian pra pernikahan atau acara protokolar pemerintah Aceh dalam menyambut tamu kebesaran.
Situasi seperti ini mungkin dapat melunturkan kebudayaan Aceh yang telah terbina ratusan tahun yang lalu, kebudayaan sejati nya indenditas satu bangsa, hilang budaya sama artinya hilang bangsa.
Pendahulu kita telah khawatir tentang jati diri kita yang meremehkan peranan adat dalam kehidupan kita dengan sebait pepatah yang penuh dengan sarat maknanya
Mate Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita?
Sepenggal kalimat di atas perlu kita renungi kembali, mari jaga adat budaya kita yang telah tertamadun sejak dulu sebagai solusi dalam kehidupan sosial di lingkungan kita.