Foto: dokumen pribadi
“Apa yang kau bicarakan dengan ibuku kemarin sore?” tanya seorang gadis pada kekasihnya.
“Aku bilang ke ibumu jika aku telah melamarmu.”
“Apa? Bukankah itu sudah selesai kemarin?”
“Kita selesaikan kemarin, tapi kita mulai lagi hari ini.”
“Kau… benar-benar! Saat kau menginginkan sesuatu, kau hanya akan puas bila semuanya berjalan sesuai keinginanmu. Kau benar-benar bertindak sesuka hatimu. Huh!”
“Aku begitu?”
“Kau tanya padaku kalau kau tidak tahu? Hellooo…”
“Ayo kita menikah! Tidak sekarang, tapi tahun depan, segera setelah kamu kembali dari cutimu.”
“Kalau begitu, kita bicarakan saja nanti, saat aku selesai cuti.”
“Hei, kita perlu merencanakan masa depan dan berusaha untuk mewujudkan rencana tersebut. Jadi, letakkan aku dalam daftar rencana hidupmu.”
“Hei, kau…!”
“Dengar, dalam daftar rencana hidupku, aku meletakkan kau sebagai tujuan hidupku. Well, memang selama ini aku hidup seperti yang aku inginkan, tetapi sekarang, aku akan berusaha untuk mencocokkannya denganmu.”
“Hmm, aku suka dengan keadaan sekarang.”
“Alasannya?”
“Aku suka kita berbeda pendapat, bertengkar seperti sekarang. Aku tidak suka hubungan yang tidak memiliki ketegangan dan tenang-tenang saja. Jika kita berkencan dengan tujuan menikah, suatu saat kita akan bosan karena kita sudah tahu bahwa kita saling memiliki.”
“Itu tidak akan terjadi.”
“Apa maksudmu?”
“Seperti katamu tadi, aku biasa terpisah. Dan aku bisa mengkhianatimu. Begitu juga kau. Jika kau mulai membenciku, kau bisa saja mengkhianatiku dan meninggalkanku, meninggalkan semua janji yang kita buat. Dan itu sudah pasti akan terjadi.”
“Lalu kita adalah klub pengkhianat.”
“Benar. Untuk itulah kita harus menikah. Jika kita tidak ingin dikhianati atau ditinggalkan satu sama lain, kita harus fokus satu sama lain, saling memerhatikan, saling mencintai, dan bekerja lebih keras dari sekarang. Bagaimana? Aku jamin kita tidak akan punya waktu untuk bosan.”
“Hei … lalu bagaimana dengan kesuksesanku.”
“Pikirkan sendiri.”
“Kau...!”