Namaku Lira. Umurku tujuh belas. Duduk di bangku kelas sebelas di sebuah SMA kecil yang bangunannya lebih banyak kenangan daripada cat yang tersisa. Dan aku punya rahasia. Satu yang tak pernah tahu siapa pun, bahkan sahabatku sendiri.
Aku jatuh cinta pada guruku sendiri.
Namanya Pak Reza. Guru Bahasa Indonesia. Usianya mungkin tiga puluhan awal, tapi cara bicaranya seperti orang yang tumbuh dari buku-buku. Tenang, rapi, dan dalam. Setiap kali dia menjelaskan puisi Chairil Anwar atau membedah cerpen Seno Gumira, aku seperti tenggelam ke dunia yang hanya ada kami berdua.
Awalnya kupikir ini cuma kekaguman biasa. Wajar, kan? Siapa yang nggak kagum pada guru yang suka puisi, hafal bait "Derai-derai Cemara", dan bisa membuat kalimat sederhana terdengar seperti mantra?
Tapi kemudian aku sadar ini bukan sekadar kekaguman. Karena aku mulai menanti Senin dan Kamis dengan jantung lebih cepat. Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil: cara dia memutar pulpen di jarinya, atau bagaimana dia terkadang melamun di tengah penjelasan lalu tersenyum kecil, seolah ada dunia lain di kepalanya.
Dan yang paling membuatku gila: aku tahu aku tidak punya harapan.
Hari itu hujan turun deras. Bel istirahat sudah berbunyi, tapi aku tetap duduk di bangku, pura-pura sibuk mencatat. Pak Reza masih di kelas, membereskan map dan beberapa kertas ulangan.
Aku menunduk, berpura-pura menulis, padahal jantungku nyaris meloncat ke luar.
"Lira, kamu nggak keluar istirahat?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku mengangkat kepala pelan. "Nggak, Pak. Lagi nggak lapar."
Dia mengangguk. "Hujan, ya. Enaknya tidur siang."
Aku tertawa kecil. "Atau baca puisi."
Dia tertawa juga. Dan untuk sesaat, hanya suara hujan dan tawa itu yang ada.
Aku tahu aku tidak boleh terlalu berharap. Tapi manusia itu lemah saat mencintai diam-diam. Aku mulai menulis puisi, diam-diam menaruhnya di laci mejaku. Puisi tentang hujan, tentang kopi, tentang seseorang yang tidak bisa dimiliki. Seperti dia.
Satu kali, Pak Reza pernah membaca salah satu puisiku di majalah dinding sekolah. Dia bilang, "Tulisan ini... matang, tapi getir. Siapa pun yang menulisnya pasti pernah kehilangan."
Aku hanya menunduk. Tak berani bilang bahwa itu dariku. Tentang dia.
Sampai suatu sore, semuanya berubah.
Hari itu hujan lagi. Kenapa selalu hujan, ya? Seolah semesta tahu bahwa cinta diam-diam hanya bisa tumbuh di antara suara tetes air dan jendela berkabut.
Aku diminta ke ruang guru untuk mengambil berkas lomba menulis. Dan di sana, hanya ada Pak Reza.
"Eh, Lira. Ini ya, berkasnya." Dia menyerahkan map biru, tapi matanya menatapku agak lama. Seperti ingin bilang sesuatu.
"Ada yang ingin Bapak sampaikan?" tanyaku, gugup.
Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Kamu suka puisi sejak kapan?"
Aku terkejut. "Dari kelas sepuluh, Pak."
Dia tersenyum tipis. "Aku juga dulu seperti kamu. Menyukai orang yang tak seharusnya kusukai."
Kalimat itu menamparku lebih keras daripada hujan di luar.
"Kenapa... Bapak bilang begitu?"
Dia menatapku. Dalam. Lalu berkata pelan, "Karena aku bisa melihat mata yang menyimpan perasaan yang tidak diucapkan. Dan Lira... kamu berhak bahagia, tapi bukan dengan cara menyiksa dirimu sendiri."
Aku ingin menangis. Tapi yang keluar hanya senyum getir.
Sejak hari itu, aku menjaga jarak. Aku masih suka menulis, masih suka hujan, masih suka membaca bait-bait puisi di bangku belakang. Tapi tidak lagi berharap.
Karena aku tahu, ada cinta yang cukup untuk disimpan. Tidak untuk diperjuangkan, tapi untuk dikenang.