DALAM Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bagi Perusahaan yang melakukan pemanfaatan kawasan hutan di wajibkan melakukan penanaman terlebih dahulu. Baru kemudian pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Ketentuan tersebut jelas termaktud dalam pasal 33 ayat (1). Bahkan, pada pasal selanjutnya ada penegasan bahwa pemanenan dan pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. Pelestarian hutan akan memberikan dampak yang sangat positif bagi kawasan hilir untuk menyediakan stock air di musim kemaru.
Lebih lanjut, UU No 41 Tahun 1999 mengamanahkan kepada perusahaan yang bergerak di bidang pemanfaatan kawasan hutan untuk mengambil manfaat dari hutan yang tidak produktif, agar kelestarian hutan tetap terjaga. Perusahaan tidak boleh mengambil kayu/pepohonan dalam kawasan hutan secara alami dan tingkat vegitasinya masih sangat rapat (Hutan Perawan). Harus dipetakan dulu lahan kosong (Kriteria dari segi hukum semak belukar), kemudian melakukan pembibitan atau penanaman jenis tanaman yang ingin di produksi. Katakanlah seperti pohon jati, sengon, jabon, akasia dan jenis-jenis tanaman industri lainya.
Namun dalam prakteknya pengrusakan hutan terjadi dari berbagai segi. Diantaranya adalah; dari segi kewenangan pejabat publik atau pemerintah, dari segi pelaksaan izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, dan dari segi illegal logging yang di modali oleh sang kapital. Ketiga persoalan tersebut yang paling parah adalah illegal logging yang dimodali oleh sang kapital. Biasanya, illegal logging ini terjadi dalam kawasan hutan yang masih perawan. Sang Pemodal menjadikan warga sebagai ujung tombak untuk memuluskan tujuannya. Warga diterjunkan ke hutan dengan bermalam-malam di hutan belantara hanya untuk kepentingan Sang Pemodal Semata.
Sedangkan pemerintah dan perusahaan melakukan pengrusakan hutan secara terstruktur dan tersistematis. Pada konteks perizinan pemerintah dan perusahaan sangat rentan terjadi "transactional regulasi" untuk memuluskan tujuan perusahaan. Maka jangan heran Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Qanun/Perda, Peraturan Gubernur dan Bupati/Walkot sangat sering berubah-rubah. Pun demikian, perubahan tersebut berimplikasi terhadap dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah untuk memperkuat regulasi demi penyelamatan hutan. Sedangkan kemungkinan kedua adalah terjadi "transactional regulasi" untuk memperlancar dan mempermudah izin usaha pemanfaatan hutan bagi perusahaan.
Mudah-mudahan postingan sederhana ini mendapatkan tanggapan dari sahabat steemit semuanya dengan harapan "Hutan Dapat Terselamatkan".
Secercah Harapan Anak Bangsa.