Pada pertengahan abad 16 di Aceh telah muncul penulis kaliber dunia. Salah seorang yang paling terkenal adalah Hamzah Fansuri. Kemudian diikuti murid-muridnya, di antaranya yang banyak menulis kitab adalah Syamsuddin As-sumatrani yang masih beredar di dayah-dayah (pesantren). Kiprah, kejayaan, dan kemasyhuran Hamzah dan penulis setelahnya tidak terlepas dari perhatian besar sang Sultan sendiri yang berkuasa pada masa itu.

source
Pemerintah Aceh menyadari betul akan kepentingan literatur. Selain untuk mengembangkan agama dan pengukuhan pengaruh, sastra sangat berperan penting dalam membentuk pamor dan gengsi kesultanan. Kewibawaan karya Hamzah semakin menguatkan kemegahan pemerintahan masa Kesultanan Sri Sultan Perkasa Alam, atau yang lebih dikenal Sultan Iskandar Muda. Di antara para sastrawan juga banyak menuliskan perihal pemerintahan dan rakyatnya.
Masa itu Aceh berada dalam tataran bangsa-bangsa kuat di dunia, bahkan kaum Peringgi (Eropa) tiada kuasa menaklukkan Aceh. Mereka pernah berkali-kali berusaha menyerang Bandar Lamuri (Banda Aceh), tetapi tidak mampu merebut sejengkal tanah pun. Selain memiliki kekuatan pertahanan, siasat, dan taktik perang, kedudukan dan kekuatan benteng Lamuri sulit ditembus serangan meriam pasukan dari kapal-kapal musuh di lautan.
Meskipun jumlah sastrawan sedikit, orang-orang cerdik pandai telah menulis kitab-kitab dalam bahasa Melayu-Jawi, baik tentang agama, mujarobat, peraturan dan adat, peraturan bercocok tanam, dan sebagainya. Perkembangan literatur masa itu diiringi oleh perkembangan kemahiran dalam pertukangan, seperti pandai besi yang menempa senjata, pembuat hiasan tembaga, emas, suasa, perak, dan perunggu, ukiran-ukiran pada bangunan, dan sebagainya.

source
Sultan merekrut dan memperkerjakan rakya menurut kadar kemampuan untuk kepentingan kerajaan (baca: Kerajaan Aceh, Denish Lombart). Posisi karkun (juru tulis istana) juga berperan penting. Mereka menulis sesuatu kejadian setiap harinya, semua peristiwa yang berlangsung selalu dalam pengawasan. Bahkan kedudukan Hamzah Fansuri, menurut sejumlah sejarawan dan tokoh agama, setara dengan posisi Sultan dalam bidang hukum, yaitu sebagai Khadi Malikul Adil.
Selain Khadi, Hamzah Fansuri adalah sastrawan besar kerajaan dan juga ulama hebat, yang menyokong kejayaan pemerintahan Kesultanan Iskandar Muda. Sultan membiayainya dalam melahirkan karya sastra berupa hikayat-hikayat, khazanah-khazanah hebat yang sulit ditandingi pada masa itu, masa sesudahnya, dan bahkan sampai sekarang. Kemasyhurannya tidak saja di Aceh dan negara-negara tetangga, tetapi diakui sebagai sastrawan hebat di Asia.
Kenyataan ini menunjukkan betapa pedulinya pemerintah terhadap tradisi leteratur dan hanya pemerintah yang cerdas yang mampu berbuat demikian. Maka tak heran jika tradisi menulis berkembang pesat pada waktu itu, yang kemudian telah banyak melahirkan penulis-penulis kitab kuning yang menjadi pengangan hukum dan kitab pelajaran di balai-balai kampung serta dayah-dayah hampir di seluruh nusantara dan negara tetangga. Dari sekian banyak penulis kitab setelah Hamzah dan yang paling menonjol adalah Syamsuddin As-sumatrani.

source
Betapa hebatnya pengaruh sastra bagi duni disadari juga oleh Iskandar Sultan Tsani, sultan yang meneruskan pemerintahan Iskandar Muda. Dia sengaja memanggil dan mengupah Ar-raniry untuk menuliskan sebuah kitab (novel). Dulunya Ar-raniry yang berasal dari Gujarat ini terusir pada masa berkuasanya Iskandar Muda karena berseberangan dengan Hamzah Fansuri yang punya paham al-wujudiah. Pada masa Iskandar Sultan Tsani inilah kepala Hamzah dipenggal dan kitab-kitabnya dimusnahkan.
Tsani memanfaatkan Ar-raniry untuk menulis Bustanussalatin (Taman Raja-raja), sebuah novel yang mengambarkan kejayaan dan kemegahan lingkungan istana, sebelum sang raja diracun oleh istrinya sendiri. Bustanussalatin ini masih untuh hingga sekarang dan dibaca sebagian penghuni dayah sebagai bacaan hiburan dan sejarah. Beberapa teungku juga menyimpannya kitab bertuliskan huruf jawi ini di rumah.
Sepeninggalan Iskandar Muda dan Hamzah Fansuri, masa kejayaan Aceh terus menurun hingga akhirnya runtuh. Kemasyhuran itu tak kunjung terulang lagi sampai sekarang, sekalipun orang Aceh membangun angan-angan kuat di kedai-kedai kopi. Kemudian berlanjut dengan hilangnya perhatian pemerintah terhadap tradisi literatur yang tidak mereka pahami. Pemerintah setelahnya dikuasai orang-orang lemah dan agak bodoh, sehinga hari ke hari Aceh kian terpuruk sampai kemudian Belanda masuk memporak-porandakan semuanya.
Dari realitas sejarah di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kejayaan suatu bangsa sangat didukung oleh literatur serta keahlian lainnya yang berjalan beriringan. Hal ini pula disadari oleh bangsa dunia lainnya, yang dalam kenyataannya penulis-penulis hebat kelas dunia hanya lahir di negara-negara maju, seperti Orhan Pamuk (Tuki), Yasunari Kawabata (Jepang), VS Naipul (Inggris), dll. Di negara yang mundur, sulit lahir sastrawan hebat, karena sastra adalah ilmu tinggi yang tidak mungkin bisa berkembang di negara yang miskin ilmu dan manusianya malas-malas belajar.

source
Kebanyakan sastrawan kelas dunia itu adalah orang-orang yang diperhatikan pemerintah, sebagaimana juga Hamzah Fansuri semasa Iskandar Muda. Dengan karya-karya merekalah nama negaranya terdongkrak sampai ke penjuru dunia, lalu mereka mengukuhkan diri sebagai bangsa cerdas. Jika pemerintah tidak mendukung perkembangan sastra, maka akan sulit lahir sastrawan kelas dunia. Sebab, menulis sastra adalah pekerjaan berat yang mengorbankan banyak tenaga dan waktu.
Bisa dibilang, kerja literatur adalah kerja yang lebih berat dari mencangkul sawah, maka setelah Hamzah tak ada yang terlalu kita kenal di Aceh hingga sekarang. Sastra yang bermutu hanya lahir dari kerja keras seorang yang cerdas dan mau peduli. Hidupnya dipetaruhkan untuk ilmu pengetahuan dan hanya mengabdikan diri pada pekerjaannya semata. Sudah tentu ini semua tanggung-jawab pemerintah dan kita bersama, jika memang ingin rakyat menjadi pandai dan negara menjadi maju.
Tahukah kamu bagaimana rumitnya melahirkan karya sastra bermutu? Seorang sastrawan itu harus banyak paham ragam ilmu pengetahuan, mengkaji dan meneliti, dan kemudian mensiasatinya untuk suatu tujuan perubahan generasi, sehingga karyanya membawa pencerahan. Orhan Pamuk saja membutuhkan belajar selama 30 tahun dan kerja terus-menerus sehingga karya-karyanya seperti pancaran sinar matahari yang menerangi bumi.

source
Aceh pun akan bangkit kembali jikalau pemerintahnya cerdas dan mau peduli pada kerja berat sastrawan. Pemerintah tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan soal pesiar dan pelesiran. Dana yang begitu banyak, bolehlah disisihkan seujung kuku saja untuk sekolah menulis, mengadakan sayembara sastra tahunan, pemberian penghargaan, dan bantuan khusus bagi mereka yang telah benar-benar menghasilkan buah karya bermutu; dan itu semua bisa dilakukan setiap tahun.[]