Tanggal 9 Mei lalu, seluruh desa di kotaku menggelar pemiliharan serentak kepala desa, tentunya salah satunya desaku. Di Aceh, setelah sepakat berdamai yang ditandai dengan MoU Helsinki, salah satu isi perjanjiannya ialah Aceh dengan keistimewaannya diizinkan memberikan nama dengan kaidah-kaidah lokal Aceh, seperti Gampong untuk desa, qanun untuk undang-undang, dan juga geuchik untuk lurah. Lebih kurang seperti itu, terima koreksi.
Aku tidak sedang fokus pada substansi tersebut. Aku ingin bercerita tentang pemilihan geuchik atau lurah yang baru saja dilaksanakan. Setiap desa sudah memiliki nama-nama geuchik terpilih.
Di sebuah desa kecil yang penduduknya tidak mencapai 1000 jiwa, tempat aku lahir, besar, dan tinggal saat ini. Ada seorang calon geuchik yang mungkin saja memiliki keberanian dan jiwa besar yang patut diacungi jempol.
Untung, nama beliau. Meski namanya Untung, namun nasibnya dalam hal pemilihan geuchik tidak sesuai namanya. Dia tidak beruntung, meski sudah tiga kali berturut-turut mencoba namun kesemuanya itu gagal.
Bahkan di pemilihan 9 Mei lalu, beliau berada di posisi kedua dengan hanya beda 1 suara dari si pemenang pilihan rakyat. Pak Untung dengan 333 suara, geuchik terpilih 334 suara. Iya, 1 suara di percobaan ketiganya. Untung yang belum beruntung.
Jika saja dia percaya tentang arti namanya, mungkin saja dia mencoba peruntungan kali keempat 6 tahun ke depan. Kita lihat saja ya Pak Untung.
Memetik pelajaran dari Pak Untung, bahwa dalam hidup kita memang harus terus berusaha. Sampai kita meraih kesuksesan. Pak Untung sudah mengalami kemajuan, bukan tidak mungkin ia gagal lagi berhasil di percobaan keempat, kelima, dan seterusnya. Jangan pernah menyerah ya, terlebih dalam usaha mendapatkan hati adek itu. Sekian dan terima kasih.
Langsa, 12 Mei 2018
AD || @ariefdermawan
