Sudah sebulan aku merasa tidak nyaman. Kau seorang pria dan aku seorang wanita. Aku sering menjumpaimu dalam kegiatan-kegiatan sosial. Aku melihat semangatmu untuk berbuat dan memberi cinta yang besar untuk kemanusiaan. Aku memperlakukanmu sebagai saudara seperjuangan. Tetapi kenapa engkau sepeti ini? Kau telah mempermainkan perasaan seorang wanita sepertiku. Panggilan demi panggilan dari nomormu yang sengaja kuabaikan, pesan demi pesan Whatsapp yang isinya tidak penting. Apa kabar kamu di sana? Kamu sedang di mana sekarang? Hari ini nggak masuk kerja?
Tolong, jangan biarkan aku merasa bahwa engkau sedang memberi perhatian padaku! Kumohon!
Aku tidak tahu apakah engkau mengerti atau tidak. Bagiku perbuatanmu itu berbahaya. Kau tahu bagaimana sifat wanita, lebih-lebih wanita dewasa sepertiku? Sedatar dan sekesal apapun perasaanku saat ini padamu, bila engkau terus menerus berjuang tanpa lelah apalagi sampai ‘berdarah-darah,’ lama-lama aku khawatir akhirnya aku luluh dan menyerah. Kemudian aku akan melayani setiap pesan yang engkau kirimkan; aku akan merindukanmu bila sehari saja tidak ada kabar darimu; kemudian bayanganmu akan memenuhi seluruh pikirku dan menciptakan keindahan yang hanya ada dalam angan-angan. Dengan begitu tenggelamlah aku!
Tolong, jangan biarkan aku tenggelam dalam samudera pesonamu. Kumohon!
Sebenarnya jarang sekali kubalas pesan-pesanmu, kecuali bila kata-katamu membuatku ingin menyampaikan sebuah nasihat. Jika maksudmu sekadar usil, aku tidak ingin melayani keusilanmu. Aku masih manganggapmu sebagai teman seperjuangan di jalan perjuangan kemanusiaan.
Tolong, simpan semua kata-kata gombalmu untuk seseorang saja, dan itu bukan aku. Jangan ganggu aku! Kumohon!
Kau kerasa kepala. Kau tak mudah menyerah. Padahal kau tahu aku sudah menikah.
