Tidak aneh lagi jika saat ini tidak ada yang meneruskan proses pengembangan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan malah digantikan oleh Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Para ahli Bahasa Indonesia yang meneruskan pembentukan struktur, tata bahasa, dan kata dalam Bahasa Indonesia yang menggunakan EYD sudah tiada, dan bukannya dipelajari dengan baik untuk dilanjutkan, malah lalu diambil jalan mudah dan singkat dengan menggantinya. Yang menyedihkannya adalah ada banyak sekali perubahan terutama kata, yang seharusnya tidak dilakukan semudah itu. Ini sama dengan upaya untuk penghancuran pola pikir dan masa depan seluruh rakyat Indonesia.
Hasil praktek belajar langsung menulis.
Saya sangat paham bagaimana kebencian terhadap Era Orde Baru, terutama kepada mantan Presiden RI almarhum Bapak Soeharto, yang kemudian membuat sepertinya semua yang dilakukan beliau adalah salah total dan harus diganti. Namun, dari sini juga bisa dilihat bagaimana dendam dan jiwa besar serta keadilan itu sesungguhnya sulit dimiliki oleh siapapun, sehingga memang tidak mudah melihat apa yang baik bila sudah tertutup dengan segala amarah dan dendam yang ada. Ada banyak sekali sebenarnya program yang dibuat di jaman Era Orde Baru yang sangat baik dan akan menjadi luar biasa bila diteruskan, bukan dihancurkan dan diganti dengan yang baru. Selain buang uang rakyat, membutuhkan proses yang lama, juga belum tentu lebih baik dan bermanfaat. Contohnya saja adalah program pendidikan 7 tahun, Transmigrasi, KB, dan juga termasuk soal Bahasa Indonesia.
Saya juga paham bila banyak yang tidak setuju dengan pendapat saya ini, dan itu tidak masalah karena setiap orang memiliki kebebasan untuk berpikir dan berpendapat. Sejak era reformasi, perubahan dalam Bahasa Indonesia sangatlah luar biasa. Alih-alih dengan menggunakan alasan kreatifitas dan kebebesan, yang ada adalah sebenarnya penghancuran pola pikir, yang efeknya disadari tidak disadari adalah penghancuran bangsa dan negara. Kata bukanlah sekedar kata, kita semua pun sebenarnya sadar bagaimana kata itu memiliki arti dan makna yang lebih mendalam daripada hanya sekedar kata yang tertulis. Kata cinta pun bisa mengubah kehidupan seseorang sampai sedemikian dahsyatnya, itu baru satu kata, bagaimana dengan kata-kata lain?!
Sebagai contoh adalah kata ‘tetikus’ dan ‘jejaring’, sampai sekarang saya tidak paham mengapa ada kata majemuk yang diulang sedemikian rupa. Bila pun kata tersebut menjadi kata benda hasil dari adaptas bahasa asing, maka sebenarnya kita tidak perlu sampai harus mengubah seenaknya saja aturan dalam pembentukan kata. Ini menjadi masalah bagi saya, karena terjadi pengacauan di dalam struktur kata yang bisa juga sangat mempengaruhi pola pikir. Ini bukan sebuah cerita khayalan atau sekedar bicara, tetapi fakta memang membuktikan bahwa bahasa adalah senjata paling ampuh untuk mengubah pola pikir dalam berbangsa dan bernegara, dan sudah lama digunakan sebagai salah satu senjata dalam politik yang amat sangat ampuh.
Kita ambil salah satu contohnya adalah perjuangan Mao Tse Tung untuk membuat seluruh rakyat China menjadi loyal dan nasionalis, dia melakukan revolusi budaya secara besar-besaran. Di dalam revolusi budaya tersebut, langkah pertama yang dilakukannya adalah mengembalikan Bahasa China kepada struktur dan tatanan yang baik dan benar, bahasa daerah pun ditata sedemikian rupa agar jauh dari intervensi atau pengaruh bahasa asing dan bahasa “jalanan dan asal-asalan” lainnya. Kita bisa melihat hasilnya, walaupun kita bisa berdebat soal bagaimana juga pengaruh atas kerasnya kekuatan pemerintah pada saat itu, di mana kebebasan dianggap tidak ada, tetapi nasionalisme bangsa China di mana pun berada hingga saat ini sangatlah kuat. Itu tidak bisa terbantahkan. Ada kebanggaan menggunakan Bahasa China yang sangat melekat pada setiap pribadi bangsa dan keturunan China di seluruh dunia ini.
Kita juga bisa melihat sejarah revolusi Perancis, di mana rakyat berontak dengan sedemikian brutalnya kepada kerajaan dan para bangsawan. Tidak ada bedanya dengan kejadian yang terjadi pada saat reformasi di Indonesia, namun apa yang terjadi dengan bahasa mereka? Mereka tetap menempatkan bahasa para bangsawan dan ningrat itu sebagai bahasa yang penting, karena mereka tetap ingin Perancis sebagai bangsa yang kuat dan terhormat serta berkelas di mata dunia. Begitu juga dengan Spanyol, mereka melakukan hal yang sama. Malu bila tidak mampu menggunakan bahasa yang “berkelas”, walaupun mereka menentang rezim yang sudah membuat mereka susah dan menderita.
Saya berikan lagi contoh yaitu negara Jepang, di mana mereka sadar penuh bahwa bahasa mereka adalah benteng pertahanan negara yang paling penting dan harus benar-benar dijaga. Untuk mengubah satu kata saja, mereka melakukan program sosialisasi selama 40 tahun, dan itu pun setelah serangkaian penelitian, debat, dan diskusi yang memakan waktu bertahun-tahun. Hasilnya mereka tetap kuat dan tidak pernah bisa semudah itu dihancurkan oleh bangsa asing.
Sertifikat para peserta yang diberikan penyelenggara.
Kita tidak bisa meniru dari Bahasa Inggris yang digunakan di Amerika, karena sesungguhnya itu bukanlah bahasa ibu atau bahasa asli mereka. Kekacauan bahasa Inggris di Amerika juga membuat negara tersebut bermasalah, kita bisa melihat bagaimana kondisi mereka saat ini. Jangan hanya dinilai dari soal uang, tetapi coba perhatikan bagaimana situasi dan kondisi kejiwaan serta pola pikir masyarakat di sana sekarang. Hidup dengan penuh ketakutan, stress, dan meskipun mereka selalu berteriak soal Hak Asasi Manusia, sekarang merekalah yang terlebih dahulu keluar dari divisi Hak Asasi Manusia PBB. Bahasa yang dibolak-balik, dihancurkan, dan seenaknya saja memang tidak memberikan manfaat, malah hanya merusak dan butuh banyak biaya untuk menutupi masalah ini.
Sungguh sangat disayangkan bila rakyat Indonesia tidak mau mempelajari dan mengabaikan bahasa Indonesia, dan apalagi jika pemerintah pun seenaknya saja mengubah struktur, tata bahasa, dan kata dalam bahasa Indonesia. Bukan berarti juga kemudian bahasa daerah itu diabaikan atau dianggap tidak penting, justru bahasa daerah pun harus dipelajari dengan baik dan benar, sebagaimana seharusnya. Hilangnya dan kacaunya bahasa daerah juga akan menghancurkan jati diri daerah tersebut dan hilangnya ciri khas Indonesia, oleh karena itu, bahasa daerah tetap penting untuk dijaga dan dipelajari dengan sangat baik. Toh, saat ini banyak sekali daerah yang sudah kehilangan jati dirinya, walaupun masih menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, karena bahasa daerah yang digunakan bukanlah bahasa daerah yang baik dan benar. Lebih banyak hanya memakai bahasa sehari-hari, jalanan, dan asal-asalan, bukan bahasa para kaum terhormat.
Barangkali memang cuma omong kosong belaka saja keinginan untuk maju dan kuat, karena soal Bahasa Indonesia ini saja sudah nampak jelas, sudah terjadi upaya untuk pengrusakan dan penghancuran bangsa dan negara Indoenesia lewat Bahasa Indonesia. Jika pun ini tidak dimengerti atau tidak disengaja, maka lebih celaka lagi, karena bagaimana bisa membuat aturan bila tidak paham bahwa bahasa adalah pola pikir dan sarana politik?! Maunya apa, sih?!
Bersama para guru yang mengikuti kelas mengajar dan menulis bersama saya.
Coba ikuti posting dari Bang @yarmen-dinamika yang terus konsisten menulis tentang penggunaan bahasa Indonesia, pelajari dengan baik. Ada banyak hal mendasar yang patut diketahui, di mana tetap menjadi dasar dalam struktur serta tata bahasa walaupun ada banyak perubahan dalam kata saat ini. Ikuti juga posting dari Bang @ayijufridar, yang jelas menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, ini pun bisa dijadikan contoh yang baik. Sudah waktunya kita ini sadar, bahwa kebebasan itu tetap harus disertai dengan tanggungjawab, tidak ada yang bisa seenaknya di dunia ini selagi kita hanya manusia, bukan Tuhan! Hati-hati dalam berbahasa, baik bahasa Indonesia ataupun bahasa asing. Yang rugi dari asal-asalan berbahasa adalah diri kita sendiri, sadar disadari, diakui tak diakui, diri sendirilah yang sudah merusak pola pikir dan diri sendiri. Jika benar ingin maju, jangan hanya kejar apa yang ada secara instant dan materi semata, pikirkan segala sesuatunya untuk jangka panjang!
Bandung, 22 Juni 2018
Salam hangat selalu,
Mariska Lubis