Barangkali ini malam yang tepat menyatakan lagi rinduku padamu, Laila. Setelah sekian lama aku tak merangkai sebait kata pun kepadamu. Tahukah engkau, enam minggu lalu saat di Bengkulu, seolah aku melihatmu di langit Pantai Panjang, di sore yang benderang. Kala itu, langit tampak biru-keemasan menjelang ia hanyut dalam mimpi-mimpinya. Awan gemawan yang menyangganya berpola serupa kuda, dan ya aku merasakan kehadiranmu saat engkau sibuk kendalikan “kuda-kuda itu”. Mereka berjingkrak, tampak liar tapi mereka kegirangan, penuh hawa nafsu dan berahi.
Memang terlalu banyak rahasia engkau titip di langit itu. Mulai dari tempat jatuhnya air hingga adanya kehidupan di setiap butiran debu angkasa. Tapi aku yakin kuda-kuda itu akan membawaku padamu, Laila. Untuk menuntaskan desakan rindu. Sebagaimana keyakinan-keyakinan padamu sebelumnya. Masih ingatkah engkau saat aku menulis sebuah kemelut rindu padamu bertahun-tahun silam?
Ingin aku mengingatkanmu lagi tentang itu. “Sajak-sajakmu bagai mataair di padang pasir: tatkala lelah aku melewati gelombang debu yang menyesakkan dada, saat peluh mengucur deras, maka petunjuk arah dalam sajak-sajakmu telah memaknai setiap pijakan langkah ini. Demi dentang waktu dari fajar hingga lelap sang rembulan, izinkan aku meluapkan rindu padamu, Laila”
Empat Lawang, 9 Maret 2015
@razack-pulo