Di setiap pijak langkah, sentuhanmu begitu terasa, Laila. Seakan telah kau buatkan pola dan panduan perjalanan di tapakku, begitu juga peta-peta, semua merupa sketsa perjalanan panjang, yang muaranya selalu mengalir pada capaian yang amat intuitif.
Setiap aku membaca keindahan sajak-sajakmu yang terpatri dalam ratusan halaman kertas – juga kanvas kehidupan – desiran darahku menggelora, kemudian memuncak tak terbendung ketika memaknai jejak kehidupan antara bebatuan dan serpihan peradaban zaman yang kian membatu, rapuh, dan renta.
Sajak-sajakmu telah membuka jendela dan pintu-pintu yang beku bagi kesadaranku, begitulah setelah kembali kulahap seluruh bait dan liriknya. Tiap kata engkau tiupkan napas surgawi, sungguh membius, hingga aku lupa pada lelap yang buta. Bahkan kerlip bintang kian pudar seiring datangnya kejora. Pada sang surya yang bersinar terang pun masih saja aku terjaga di atas halaman himpunan sajak-sajakmu.
Demi dentang waktu yang melengkung dari timur ke barat, sungguh aku telah mencintai sajak-sajakmu atas segala kuntum yang bermekaran di malam hari.
Laila, sajak-sajakmu itu wadi pemberi harapan, lelah aku melewati butiran-butiran garam dan debu yang menyesak hingga ke relung dada.
:Laila, demi dentang waktu dari fajar hingga tidur sang rembulan, sajak-sajakmu yang lembut itu selalu setia jadi penunjuk jalanku lurus.
Bener Meriah, 3 Februari 2010