Banyak orang yang tidak tahu bahwa sehari setelah hari kesaktian Orde Baru (red : Kesaktian Pancasila), 2 Oktober telah ditetapkan hari Batik Nasional.
Bersama Pak Dahyar dari IPB.
Sebenarnya sejarah pengenalan batik tak dapat dilepaskan dari peran Soeharto. Jenderal murah senyum itu kerap menggunakan batik, apalagi Ibu negara: Tien Soeharto. Dalam acara kenegaraan dalam dan luar negeri mereka kerap menjadikan batik sebagai identitas nasional.
Namun upaya menjadikan batik sebagai warisan dunia tak benda pada UNESCO terjadi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 Januari 2009, dan kemudian ditetapkan pada tahun yang sama pada tanggal 2 Oktober sebagai hari batik. Pada masa Presiden Jokowi, saya mulai sadar untuk terus menggunakan batik.
Pilihan saya memakai batik ini harus dilihat dalam perspektif poskolonial. Orang hanya mengenal bahwa batik hanya milik Jawa, padahal motif dan teknologi lokal tentang perbatikan ada di banyak daerah, bahkan batik Papua termasuk yang sedang naik daun. Batik Siak dan Anambas juga saya ketahui ketika melakukan survei ke daerah tersebut.
Aceh yang asli dalam sejarah tidak mengenal tradisi batik, juga mulai membuka industri batik tulis dengan menggunakan motif khas Aceh : alam dan motif bunga. Tentu karena pengaruh Islam yang kuat, di Aceh motif binatang tidak digunakan. Paling jika digunakan adalah motif ikan, karena "ikan tak sepenuhnya binatang".
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa, "laut itu suci airnya dan halal bangkainya. tentu yang disebut dengan bangkai laut adalah ikan yang tak perlu harus disembelih dengan bismilah dulu, dalam keadaan mati kita beli dan makan, halal: tipikal untuk menunjukkan ia bukan sejenis hewan seperti ayam, lembu, atau unta.
Memakai batik dengan celana jeans dan sepatu sports pun gak apa-apa, tidak berdausa.
Maka, hari ini, 2 Oktober 2017, saya membawa batik ketika sedang melakukan survei bersama tim Monitoring RKL-RPL Institut Pertanian Bogor (IPB), hanya saya yang membawa batik. Teman yang lain, karena ini urusan tim lapangan, lebih banyak membawa "pakaian perang". Jadi bersyukur juga saya membawa batik - yang saya beli di Tanah Abang Blok B - yang bisa menyelamatkan jiwa nasionalisme melalui penggunaan batik di hari ini.
Dan di antara motif batik yang terkenal di Indonesia, saya lebih suka motif dari daerah yang "proletar" seperti batik Mega Mendung dan Pekalongan. Kesannya saya lebih merakyat dan lebih rame. Kalau Jepang, mungkin sebut Harajuku: tabrak lari. Kalau batik Solo, Keraton (Jogja), dan Jepara kesannya terlalu Classy. Terlalu meu-ulee balang (feodal). Jadi ingat ketika nonton film Kartini yang diperankan Dian Sastrowardoyo.
Jadi, daripada beli baju di Time Square Kuala Lumpur atau Senayan City Jakarta yang mahalnya nauzubillah, bagus beli batik milik rakyat "jelita". Membantu para pengrajin kecil sekaligus mempromosikan batik Nusantara. Tentu di kalangan batik ada juga yang harganya agak mahal seperti Batik Papua, Batik Timor, atau Batik Anambas, seperti juga batik pilihan priyayi di Jawa, kita bisa membeli batik murah-meriah. Untuk seragam lebaran Idul Adha lalu saya membeli lima pakaian seragam batik untuk istri dan tiga anak, yang semuanya gak sampai Rp. 300 ribu. Ya itu di Blok A dan B, Tenabang, Jakarta Pusat.
Lagi pula bagi saya, beli pakaian mahal-mahal dosa, dompet kita merana, dan malu sama orang miskin yang banyak di sekitar kita.
2 Oktober 2017