9 November di Harun Square Hotel Lhokseumawe diadakan acara Focus Group Discussion tentang Pengawasan Pemilu Partisipatif, Harapan dan Tantangan. Acara dilaksanakan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Lhokseumawe.
Pada acara itu saya diminta untuk menjadi fasilitator yang mengatur lalu lintas diskusi. Hadir sebagai pembuka acara mewakili pemerintah kota adalah kepala Kesbangpol Lhokseumawe, Ridwan Jalil. Sebelumnya ketua Panwaslu Lhokseumawe, Teuku Zulkarnain, juga menyampaikan pandangannya bahwa acara ini dilaksanakan untuk melibatkan sejak awal setiap para pihak di Lhokseumawe untuk peduli pada hadirnya momentum elektoral yang sehat dan bermutu.
Dari hasil refleksi tentang perjalanan demokrasi elektoral selama ini terlihat bahwa Kota Lhoseumawe masih menghadapi problem pada kualitas demokrasi secara etik. Masih muncul apatisme dari publik atas politik sebagai permainan penuh curang. Juga masih muncul pandangan bahwa penyelenggara pemilu baik dari pelaksana dan pengawas dikontrol oleh kekuatan politik dominan sehingga belum berlaku adil bagi kontestan dan publik.
Beberapa tuduhan itu sebenarnya tidak semua terbukti. Kasus yang disampaikan peserta tidak semua muncul dalam dokumen laporan, meskipun ada juga masalah yang objektif seperti kasus "salah hitung" oleh penyelenggara di tingkat bawah yang kemudian penyelesaiannya adalah "win-win solution". Jika dibandingkan dengan kasus kecurangan di kabupaten tetangga, kasus Lhokseumawe hanyalah debu di siang yang panas saja. Tak sampai menimbulkan dampak terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).
Adapun masukan perbaikan mekanisme pengawasan yang muncul saat FGD adalah perlunya Panwaslu melaksanakan kegiatan sosialisasi yang lebih efektif dan tidak hanya seremonial. Sosialisasi ke sekolah, komunitas agama, wartawan, dan perempuan harus dilakukan dengan format yang lebih dialogis dan berangkat dari keperluan akar rumput. Demikian pula muncul harapan agar sosialisasi ini bisa melibatkan stakeholders baik lembaga pemerintah seperti Kesbangpol atau perusahaan melalui pengelolaan sebagian dana sosial perusahaan (CSR) untuk pendidikan demokrasi warga (civic education) sehingga tingkat partisipasi warga dalam memilih meningkat. Pengalaman Pilkada lalu menunjukkan bahwa partisipasi publik Lhokseumawe termasuk terendah di seluruh Aceh yaitu hanya 59 persen.
Akhirnya publik masih menaruh harapan atas keberadaaan Panwaslu yang baru untuk bekerja penuh dedikasi dan berani menyelesaikan problem yang muncul. Sebab secara institusional lembaga pengawasan saat ini diberikan kewenangan untuk mengeksekusi masalah pelanggaran adminsitratif para peserta pemilu tidak hanya merekap masalah yang ada. Hal itu sudah diperkuat sejak UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dan pada pengesahan UU Pemilu terbaru yaitu UU No. 7 tahun 2017.
Semoga "obat kuat" itu bisa meningkatkan kadar testeteron lembaga pengawas dalam melaksanakan fugsinya dan bisa melibatkan komponen masyarakat seluas mungkin dalam menjalankan peran partisipasinya untuk pemilu yang lebih sehat dan berkualitas.
Pendalaman demokrasi (depeening democracy) tak kan mungkin hadir jika institusi demokrasi tidak menjalankan perannya dengan penuh penghayatan dan adanya warga yang aktif dan bersemangat.
10 November 2017