Hello Steemians!
Akhirnya.. Duo sohib saya, @ayijufridar, sang penulis Putroe Neng, dan Morenk @beladro, sang penakluk lidah Nusantara dalam racikan Cangkir9, berhasil menyeret saya dengan sangat indah dan merdu ke dalam area ini: berkancah-kancah mesra dalam berbagi tulisan, pikiran, cerita foto dan video. Patut tiga gelas kopi saya hidangkan untuk keduanya sebagai ucapan terimakasih yang paling amboi. Semoga saya amanah dalam jabatan mulia ini, sebagai penghuni baru yang setia menulis nantinya di sini. :)
Persuaan pedes-pedes sambal lado yang menuai badai ingin
Saya Ibed, juga sering dipanggil Zu. Atau bila ingin lebih lengkap, bisa disematkan ke sebuah nama: Zubaidah Djohar. Asal pendayungan dari Ranah Minang - Sumatera Barat, dan berdiaspora di Aceh. Ibu untuk dua orang putra dari hasil pernikahan yang pernah terjalin merdu dengan seorang laki-laki Aceh. Kedua lelaki muda yang telah mulai bujang ini bernama Fayyaz dan Fata: dua permata anugerah semesta, teman perjalanan setia. Insyaallah. Amin ..
Suatu ketika di Dataran Tinggi Gayo Lues. Tanah di mana segala keindahan bertemu denyutnya.
Dua Lelaki Cinta Sang Bunda
Dalam 20 tahun terakhir, saya bergelut lembut di ranah penelitian sosial-politik-budaya, Trainer untuk kepemimpinan politik-perdamaian dan penelitian sosial berperspektif gender inklusif. Sejak Februari 2012, saya terhempas merdu dalam dunia sastra yang sungguh elok: menulis puisi, membacakan, dan berkecipak mesra di sayap-sayap diksinya. Puisi itu lahir dari tenggelamnya kata-kata untuk menggambarkan realita, kekecewaan yang memuncak, kegeraman yang teramat sangat sekaligus harapan-CINTA yang tak terperi atas pahitnya rasa, puncaknya di tahun 2008. Semua tumpah ruah dalam diksi-diksi, larik-larik yang semakin liar mencari tuannya, yang semakin bergelora menemukan muaranya, yang semakin tenang melerai duka-nestapanya.
Semua berawal ketika saya bertemu dengan banyak penyintas konflik di Aceh, terutama perempuan dan anak, di beberapa desa yang saya singgahi. Mata kekecewaan pada Negeri, getir suara yang terbaca, hilang kepercayaan pada janji-janji politik manis yang berbuah amis, dan semua gurat nyeri yang tak terucap di raga dan lidah mereka.
Para penyintas itu berjuang di langkah kaki sendiri, di tangan letih, sekaligus tetap setia menyemai cinta bagi kehidupan mereka dan sekitarnya. Mereka adalah guru kehidupan bagi perjuangan Negeri ini. Di sinilah damai itu ditanya dan ditata ulang. Milik siapa? Untuk siapa? Karena siapa? Semua kecamuk dan harapan ini tertuang dalam sebuah buku puisi "PULANG, Melawan Lupa" (2012), yang diterjemahkan oleh Heather Curnow (Doktor Sastra Universitas Tasmania-Australia) pada tahun 2014, dengan judul "Building a Boat in Paradise"/Memahat Perahu di Pulau Nirwana (salah satu judul puisi dalam kumpulan puisi tersebut). Diluncurkan pertama kali di Hari Peringatan Perdamaian Aceh, pada tanggal 15 Agustus 2014 di Australian National University, yang dimoderatori oleh Mas Amrih Widodo, dan tahun 2012 oleh Marcus Mietzner di kampus yang sama.
Pada tahun 2014, lahir buku "Demi Damai", sebuah kumpulan tulisan terkait puisi-pusi tersebut, yang dikaji dari ragam perspektif. Terdapat sekitar 28 penulis: antropolog, Sosiolog, Kritikus Sastra, Sastrawan, Budayawan, Agamawan, Pegiata Lingkungan, Pegiat HAM, Feminis dan Jurnalis, seperti Linda Christanty, Profesor Kathy Robinson, Damhuri Muhammad, Fikar W. Eda, Teuku Kemal Fasya, Usman Hamid, Fitrian Ardiansyah, Olin Monteiro, Martha Sinaga, dan beberapa penulis lainnya. Kajian mereka mencoba membongkar dan mengetengahkan sudut pandang untuk memaknai Damai Aceh khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Berbagi strategi pemulihan dan rekonsiliasi. Buku ini pertama sekali diluncurkan di Unsyiah oleh Rektor, Prof. Samsul Rizal, kerjasama dengan ICAIOS, TRC dan Balai Syura Inong Aceh. Adapun sastrawan muda yang terlibat berbagi jiwa kemanusiaannya dalam peluncuran ini adalah Herman RN, dan Nazar Shah Alam, juga turut serta punggawa sastra nan puitis, Djamal Sarief.
Sedikit berbagi kisah perjalanan buku puisi ini, di beberapa link berikut:
https://europalia.eu/en/article/zubaidah-djohar_1248.html
http://politiikasta.fi/building-boat-paradise-feminist-literature-resists-forgetting-2/
Selanjutnya kita bisa bertukar kabar, pikiran dari karya-karya yang lahir dan yang akan. Selain kecipak-kecipak mesra dengan kegiatan di atas, saya juga melakukan pendampingan penulisan kreatif, antara lain di Unimal - Komunitas "Creative Minority", Kelompok Penyintas, dan Pendamping Penyintas. Di tengah keriting tungkai, lelahHayatinya dunia, saya juga senang bernyanyi, menari, berselancar cinta bersama duo lelaki hati, atau berbicara dengan komunitas di akar rumput: di tepi-tepi danau, sungai, bebukitan, gunung, persawahan, dan ladang-ladang. Selain itu, juga bergiat di isu lingkungan dan masyarakat yang inklusif.
sumber
Kegiatan Saya bersama teman-teman TRC (lembaga riset yang saya dirikan di Aceh), tergabung dalam Konsorsium Javlec untuk Pendampingan Kelola Hutan Kolaboratif Berbasis Potensi Lokal di Gayo Lues (KOMPAS TV Aceh)
Saat ini, saya juga berkelindan merdu bersama sahabat-sahabat Perempuan Indonesia Anti Korupsi (PIA) dalam berbagai kegiatan Kebudayaan dan Kemanusiaan. Bila ada kesempatan, mari bergabung bersama dalam kegiatan apa pun yang senafas dengan gerakan ini. Terbuka segala lenggok dan ruang untuk kita.
Membaca puisi dan pantun di Hari Kartini yang diselenggarakan oleh PIA di @America, turut hadir Ketua KPK, Bapak Agus Rahardjo.
Demikian sekilas perkenalan, semoga silaturrahmi sastra, budaya, penulisan kreatif, dan kehidupan yang bak "alam takambang jadi guru", bisa saling menyemangati dan berbuah nutrisi bagi kita. Senang bergabung di komunitas ini. Salam sehat, sukses, dan terus berkarya. Apa pun warna hidup kita. Cheers!