Sejujurnya sulit untuk memperkenalkan diri, karena saya tidak meyakini bahwa apa yang akan saya kenalkan tentang diri saya merupakan saya yang sebenarnya. Permasalahan ini karena saya masih meragu-ragu pada diri. Apakah diri saya itu? bagaimana saya mendeskripsikan diri hingga saya dapat di identifikasikan berbeda dari yang lain? Untuk itu, mungkin mengenal transisi perubahan diri yang saya alami lebih elok, meski tidak juga terlepas dengan subjektifitas dalam melihat diri.
Saya dilahirkan dengan nama Yogi Febriandi. Sebuah nama yang sangat berbeda jika dilihat dari ibu saya yang seorang Minang dan ayah seorang Aceh. Sedari kecil hingga sekarang saya tidak bisa berbahasa Aceh ataupun Minang. Langsa tempat saya dibesarkan tidak menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa keseharian, terutama Komplek Perumnas tempat saya tinggal hingga saat ini. Bahkan saya tidak begitu akrab dengan kedua tradisi tersebut. Mungkin itu pula yang membuat saya tidak memiliki rasa kesukuan. Saya tidak benar-benar melihat suku/etnis benar-benar memasuki keidentitasan diri saya. Bagi saya Aceh adalah sebuah locus dimana saya tinggal. Sedangkan Minang adalah sebuah citra keluarga, bukan diri saya.
Sedari kecil saya sebenarnya tidak begitu menonjol jika dibandingkan dengan teman-teman dilingkungan saya. Dalam hal pendidikan prestasi terbaik saya sewaktu Sekolah Dasar hanya mendapatkan rangking 7 di kelas 2, itupun hanya sekali seumur hidup saya mendapatkan rangking. Di tingkat Sekolah Menengah Pertama, saya mulai merubah kebiasaan diri untuk lebih aktif mengeluarkan pendapat. Alhasil saya menjadi ketua OSIS di SMP N 3 Langsa selama 2 periode (sewaktu kelas 2 dan kelas 3). Bisa dikatakan masa-masa SMP puncak awal saya mulai aktif dan sangat giat belajar. Hampir setiap siang dan malam saya melahap buku-buku pelajaran, maka saya pun masuk dalam kelas unggul di SMP N 3 Langsa.
Memasuki masa-masa SMA, saya mulai mengalami kejenuhan belajar dan ingin memutar arah jalan diri. Saya menolak untuk masuk kelas unggul ataupun kelas inti di SMA N 1 Langsa. Saya memilih untuk bergaul dengan anak-anak yang di lebeli sebagai anak nakal di SMA tersebut. Saya meninggalkan semua buku-buku, bahkan seingat saya saya tidak pernah memiliki atau membeli buku pada masa-masa SMA. Dari kesemua itu, saya menikmati betul masa-masa SMA, karena disana kebebasan benar-benar saya rasakan.
Titik balik kehidupan kembali kepada diri saya ketika saya mulai kuliah di IAIN Langsa pada tahun 2011. Titik balik sebenarnya baru terjadi ketika memasuki semester 5 (lima). Ketika itu saya mulai mempertanyakan mengenai metode mazhab yang dijelaskan oleh dosen saya. Ada keraguan yang saya rasakan tentang penjelasannya. Saya tidak meyakini seseorang diwajibkan untuk memilih satu mazhab lalu harus benar-benar setia untuk menjadi makmum hanya di mazhab tersebut. Sejak saat itu, pikiran saya mulai kritis kembali. Saya mulai meragu-ragu dengan apapun yang disampaikan oleh setiap dosen saya. Namun, saya sadar keragu-raguan itu harus terjawab. Maka saya dengan sendirinya, mulai mencari bahan-bahan bacaan mengenai sejarah Islam mulai dari teologi (kalam) hingga politik. Dalam pencarian saya tersebut, keragu-raguan masih menyelimuti diri. Sejumlah pertanyaan masih menjadi misteri.
Keragu-raguan tersebut terus berlangsung dan membuat diri saya terus mencari jawabannya. Namun, kini secara perlahan saya mulau meyakini bahwa keragu-raguan itu adalah sebentuk pengetahuan awal menuju keimanan. Keragu-raguan merupakan bentuk keyakinan hakiki tentang mencari diri. Pertanyaan merupakan jawaban yang sebenarnya tersembunyi dan perlu untuk dibebaskan. Maka hingga saat ini keragu-raguan terus membimbing saya untuk mencari pengetahuan. Hingga saya mengerti keimanan bukan tentang meyakini saja, namun juga tentang meragu-ragu pada diri.
Beginilah sebuah diri. Penuh meragu.