Dalam segi apapun, orang Aceh sudah memiliki seunipat (standarisasi) dalam hidupnya. Sejarah Aceh, seharusnya mampu mengajari kita bagaimana seunipat itu terbentuk. Bahkan, Aceh sudah memiliki standar, pakriban ta hudép & pakriban ta matée.
Dalam segi hukum, Aceh sudah memiliki Undang-Undang yang sama kedudukannya dengan Magna Carta (Piagam Hukum) di Inggris yang terbit tahun 1215 Masehi. Bahkan, Aceh lebih komplit dari itu. Maka, bék tamarit bak ureung tulöe, bék tapublöe keu ureung buta.
Pun demikian dalam hal perempuan, Belanda sudah menyamakan Ureung Inöeng Aceh dengan Semiramis (Shammuramat) Ratu Babilonia yang diagungkan oleh Eropa, atau Ratu Katharina yang Agung dan terkenal sepanjang sejarah Eropa Timur.
Jadi, jangan bercermin pada Artis Boyband dari Korea sebagai Seunipat Ureung Inôeng Aceh. Intan bék tapeu sabée ngôn kaca.
Bahkan, untuk semangat perang, Amerika dan Perancis seudah menulis kita sebagai The Fighting North (Orang-Orang Berani Dari Utara) dalam ragam surat kabar mereka. Orang Aceh kiban crah meunan beukah, hana meungöm-ngöm. Hana meupeuliköet. Kôn lagée rimueng beuhée lam ramba.
Saat ini, Kita butuh pemimpin Aceh yang mampu menghadirkan kembali Seunipat Aceh sebagai meuneumat. Sehingga, kita tidak terkesan tanpa konsep apapun dalam mencapai tujuan. Padahal, para ulama dan pemimpin Aceh masa lalu sudah merumuskan banyak hal untuk diwarisi kepada kita.
Sayang, akibat Kap Sitéuk dan Pajöeh Lhöek, kita tidak lagi mampu menerima warisan yang agung itu dari moyang kita! Uréung Awai chit ka meuteuntée, geutanyöe mantông tarika-rika. Ureung Madjeulih hantôm kandjai, ureung tawakai hantôm binasa!
Sumber: Facebook Haekal Afifa.