Orang-orang bilang saya adalah duplikat Ayah. Bukan hanya wajah dengan kumis bersambung, namun juga nada bicara, cara jalan, cara menatap, beberapa sifat dan cara bercanda. Sebagian hatiku bahagia, bagaimana pun Ayah adalah idola saya. Namun sebagian lagi saya merasa nyeri, setelah mendengar mitos bahwa anak lelaki yang menyerupai ayahnya akan membuat salah satu dari mereka akan cepat pergi.
Demi Allah, hingga Ayahku telah pulang ke riba cinta Dzat Mahakekal, ia tidak pernah memukul, bahkan tidak juga membentak kami meskipun sesekali kami telah melakukan kesalahan fatal. Atas sikap silap kami, tegur pertamanya adalah anggukan dalam diam dengan tatapan mata tajam dan kening dikerutkan. Jika tak mempan, ia akan menyatir kami dengan ucapan. Puncaknya, ia akan diam, tak lagi peduli dan tak menanggapi apa pun yang kami sampaikan.
Saya dan kedua adik benar-benar sudah terdidik dengan bahasa. Tidak perlu ditegur dengan kasar, cukup dengan tatapan dan gerak tak senang saja kami sudah paham. Ikhwal itu kemudian membuat kami bisa membaca apa yang Ayah inginkan. Raut wajah ayah bagi kami adalah ucapan. Matanya adalah kata-kata. Dan segala tentangnya adalah cinta.
Konon Umi pernah bersumpah juga ia tak pernah dimarahi Ayah, itu telah membuatnya begitu cinta. Melebihi cinta kami, anak-anaknya. Ayah benar-benar seorang Shah di hati kami. Sulit betul untuknya datang benci. Jika ia menyindir, berdesir darah kami. Meski kesalahan tidak seberapa, kami merasa sudah melakukan sebesar-besar dosa. Ayah mampu menjadi sultan yang tegas namun tetap tenang. Dia melarang kami tanpa kasar. Ia memuji kami dengan senyuman.
Ayah adalah ruang canda. Jika ia ada, kami berkumpul di dapur setiap malam selepas mengaji, lalu ia akan mengisahkan cerita-cerita tawa pada kami. Ia mendidik kami untuk terus menertawakan keadaan. Meyakinkan kami bahwa kekayaan tidak bisa dilihat dari jumlah harta, melainkan dari intensitas tawa. Darinya kami belajar, percuma banyak uang jika hati tak pernah tenang, hidup tak senang.
Jika harus mengenang, mestinya Ayah sudah berhasil membawa kami di ambang kejayaan seperti yang dimaknai banyak orang. Namun syurga terlanjur memanggilnya pulang. Kami tinggal dalam hati yang remuk kehilangan cinta dan tak berbentuk. Kesedihan kami tidak abadi. Ayah telah lebih dahulu mempersiapkan kami bekal berupa mimpi dan keyakinan. Tak lupa ia taburkan keberanian, kekuatan, dan peta jalan pulang. Ayah telah menang dalam perencanaan dan persiapan perjalanan panjang
Kelak, jika Allah izinkan, saya juga akan menjadi Ayah. Saya telah belajar tekun dari sekarang bagaimana kemudian bisa menjadi seorang Ayah yang dicintai dan mendidik anak-anak tanpa perlakuan kejam namun tetap di atas aturan. Saya ingin menjadi Ayah seperti Ayah saya yang Sultan.