Saat rasa sakit yang telah lenyap selama enam bulan itu muncul kembali di awal tahun 2017 lalu, mengikuti saran dari dokter sebelumnya, saya mulai konsultasi dan berobat ke dokter saraf. Saya meminta suami untuk pergi ke praktek dokter spesialis saja dan tidak melalui jalur BPJS di rumah sakit sebab tidak kuat kalau harus mengantri dan menunggu terlalu lama.
Pertama kalinya, saya coba ke dr. Dessy yang praktek di Aceh Eye Center, di sana, dokter sempat memeriksa lutut saya dengan USG, namun dokter tidak melihat ada masalah apa-apa dari hasil USG waktu itu, hanya saja, kata dokter, lutut saya memang kelihatan bengkak dan memerah, tanda ada peradangan yang terjadi di sana. Dan, di hari pertama itu, berdasarkan keluhan-keluhan yang saya ceritakan, dr. Dessy mendiagnosa kalau saya punya penyakit autoimun dan menyarankan untuk tes darah.
Rada bandel, dan karena sedikit tidak puas dengan pelayanan dokter, suami akhirnya meyakinkan saya untuk coba ke poli rumah sakit saja. Sekedar untuk mendapat ‘second opinion’ katanya. Sebab waktu itu pun kami masih kurang informasi tentang apa itu sakit autoimun. Alhasil, dari situ dimulailah perjalanan pengobatan saya yang sia-sia. Kenapa? Karena salah diagnosa. Umum terjadi di negara kita ya :(
Dokter saraf di rumah sakit itu dengan yakinnya mengatakan bahwa lutut saya sakit karena ada penyempitan urat saraf, persis seperti apa yang terjadi pada pasien-pasien berumur lainnya yang berobat di rumah sakit tersebut. Sedihnya, beliau memvonis itu tanpa melakukan pemeriksaan apa-apa (minimal harusnya tes darah lah ya). Seminggu sekali saya kontrol ke rumah sakit, dan berkali-kali juga saya tanyakan pada beliau, apa tidak perlu tes darah? Untuk memastikan saja. Dan berkali-kali juga beliau mengatakan tidak perlu. Alhasil, saya dengan pasrahnya terus-terusan mengonsumsi obat anti nyeri dari beliau, selama tujuh bulan. Errrrgggghh..
Dan, akhirnya, di bulan Agustus tahun lalu, saya sudah mulai kesal dan tidak mau ke rumah sakit lagi, sebab sakit di lutut saya tidak kunjung mereda walaupun saya rajin minum obat. Atas saran kakak, saya meminta suami untuk konsultasi ke dokter saraf lain yang lebih senior, dr. Imran. Dan dari sanalah saya dapat jawabannya.
Malam itu, sehabis konsultasi, dr. Imran langsung meminta untuk tes darah, faktor yang dicek adalah darah rutin dan Rhematoid Factor. Hasilnya? Darah rutin saya semuanya normal, rhematoid factor negatif, tapiiiii.. Asto saya nilainya 2x lipat dari batasan normal. Ulala~ Dan saat melihat hasil tes darah itu, saya lihat ada raut panik di wajah dr. Imran, dan malam itu beliau langsung merujuk saya ke dr. Mahriani, dokter penyakit dalam konsultan Rematologi, dokter yang akhirnya jadi teman curhat setia saya selama tiga bulan ini.
Dua bulan di Taiwan, sebab terbentur masalah VISA dan kekhawatiran akan benarkah saya punya Lupus, membuat saya dan suami memilih untuk berpisah sementara. Saya dan Faris akhirnya pulang ke Indonesia, bersabar dulu satu tahun sambil mulai melakukan pengecekan dan pengobatan. Dua minggu setelah pulang, saya memberanikan diri ke Prodia, mengikhlaskan kantong mengeluarkan biaya cek darah yang lumayan, demi sebuah kepastian, eaaaaa.
Satu minggu menunggu hasil merupakan masa-masa yang cukup mendebarkan. Dan saat mendapat kabar hasilnya telah ada, tanpa menunda-nunda saya langsung tancap gas ke Prodia, mengambil laporannya, dan membukanya dengan penuh harap. Tapi sayangnya.. harapan saya tidak sesuai realita. Hasil tes darahnya menyatakan ada yang tidak normal. Ada tiga komponen di situ (RNP/Sm, Ro-52 recombinant, dan PCNA) yang mengindikasikan saya positif SLE.
Baiklah.
“Selamat menjalani hidup sebagai penderita Lupus.”
Begitu kata dokter sesaat setelah membaca hasil tes darah yang saya berikan di bulan November tahun lalu.
“Sudah baca-baca tentang Lupus kan? Sudah tahu kan, Lupus ini belum ada obatnya? Obat-obat yang diberikan selama pengobatan bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk menekan dan membatasi sel imun yang bekerja berlebihan agar tidak semakin menyebar dan menyerang jaringan atau organ-organ kamu yang lain. Lupus di kamu itu menyerang persendian, karena gejala sakit yang kamu rasakan itu di area lutut dan mulai terasa di bagian siku juga. Sekarang, kita akan berusaha supaya Lupusnya tidak merajalela ke bagian lain. Dan itu artinya, mulai hari ini, kamu harus konsumsi obat seumur hidup.”
Syalalalalala~~
Konsumsi obat seumur hidup???
Apa yang akan terjadi pada tubuh saya?
Saya rasanya sudah mulai muak dengan yang namanya obat, sejak kejadian sia-sia tujuh bulan lalu. Tapi apa yang baru saya dengar barusan rasanya gak bisa dipercaya, saya harus konsumsi obat seumur hidup?
“Gak ada cara pengobatan lain selain dengan obat, dokter?” Tanya saya, pasrah.
"Sejauh ini, belum ada."
Jadi, apa itu Lupus?
Yang kita tahu selama ini Lupus itu salah satu tokoh terkenal pada sebuah serial cerita di Indonesia kan ya. Ternyata eh ternyata, Lupus itu merupakan salah satu penyakit, yang sampai sekarang masih belum ada obatnya. Mirip-mirip sama kanker, Lupus terjadi karena adanya kerja sel yang berlebihan.
Jadi, Lupus ini termasuk salah satu dari sekian banyak jenis penyakit autoimun. Apa itu autoimun? Kurang lebih ya saat sistem kekebalan tubuh yang harusnya menjadi benteng pertahanan tubuh, malah menyerang tubuhnya sendiri. Terlalu agresif gitu. Atau, antibodi nya sejenis kebingungan kali ya, doi galau mana zat asing berbahaya yang harus dilawan, mana jaringan tubuh sehat yang harus dijaga. Alhasil, dua-duanya diperangi! Nah, kalau pada Lupus, umumnya, yang paling sering diserang adalah sendi, kulit, paru-paru, ginjal, dan jaringan saraf. Pernah baca, ada yang menyerang mata dan otak juga. Naudzubillah.
Lupus ini gak bisa dideteksi sekilas dengan mata saja. Karena kondisi dan gejala yang ditimbulkan berbeda-beda. Kadang, banyak pasien Lupus yang terlihat sehat wal'afiat, padahal di dalam tubuhnya ada yang sedang bergejolak, padahal seseorang itu sedang struggle dengan pain yang tidak tampak. Dan Lupus ini dikatakan penyakit seribu wajah karena gejalanya sangat umum dan mirip dengan penyakit lainnya.
Gejala yang ada pada diri saya waktu itu hingga dokter bisa mendiagnosa saya terkena Lupus:
Sensitif terhadap sinar matahari
Saya gak kuat berjalan dengan kepala tegak saat sedang di bawah sinar matahari, harus menunduk, terasa silau berlebihan di mata, dan biasanya, jika terkena sinar matahari dalam waktu yang lama, malamnya saya meriang atau bahkan bisa demam.Rambut rontok
Rontoknya gak normal, berlebihan.Sangat mudah capek dan lemas
Beraktivitas normal tapi capeknya luar biasa. Kadang walaupun hanya tiduran di rumah, tapi badan tetap lemas, tiada daya dan upaya untuk menatap sang surya di alam bebas sana #ehSakit saat bernafas
Dada terasa agak sesak dan 'heartburn' seperti yang dirasakan oleh ibu hamilTelapak kaki dan tangan sering kesemutan seperti ditusuk-tusuk
Sering sakit kepala
Anemia
Gampang stress/depresi
Gejala yang cukup umum, kan?
Kalau ditanya apa penyebabnya, belum ada jawaban pasti, dan kata dokter, tidak bisa diprediksi penyebab dan kapan Lupus itu mulai ada di dalam tubuh penderitanya. Namun, umumnya Lupus itu disebabkan oleh gen, hormonal, dan lingkungan (lifestyle, makanan, bisa mempengaruhi). Lupus ini juga lebih beresiko dan banyak terjadi pada perempuan.
Untuk pengobatannya sendiri, obat umum yang diberikan pada pasien Lupus adalah Steroid yang berperan untuk menurunkan fungsi imun, dan biasanya akan dikombinasikan dengan beberapa obat lainnya tergantung gejala masing-masing.
Sudah tiga bulan saya menjalani pengobatan. Alhamdulillah belum muncul butterfly rash di wajah yang biasanya muncul pada penderita Lupus. Tapi kondisi badan sampai saat ini masih gak bisa diprediksi. Naik-turun sesuka hati. Sehat dan drop tiba-tiba udah jadi makanan sehari-hari. Satu waktu, sakitnya bisa kambuh separah-parahnya, membuat saya hanya bisa tergeletak di kasur sepanjang hari, dan di waktu yang lain, saya bisa 'anteng' kemana-mana dan beraktivitas seperti orang-orang sehat lainnya. Bikin emosi, kadang! Hehe.
Yah.. Inilah cerita hidup saya sekarang, harus enjoy menikmati hidup sebagai seorang Lupie. Hidup di antara ketidakpastian apakah tubuh ke depannya akan tetap stabil atau semakin parah. Harus terus berpikiran positif dan gak boleh stress, sebab pikiran negatif itu hanya akan memancing flare dan memperkeruh keadaan. Gak mudah memang. Kadang muncul kekhawatiran akan masa depan, mau coba apply ini itu tapi ragu badan akan bersahabat, dan sebagainya.
Tapi.. satu hal pasti yang saya yakini..
Allah gak akan memberikan cobaan atau ujian di atas kemampuan hambanya.
So, I have Lupus, and I am sure, I can live well with it. Insya Allah :)