SEPASANG IKAN berenang dalam perutku. Meski keduanya adalah jenis ikan yang sama, namun ihwal ketibaan mereka berada dalam perutku terjadi pada waktu berbeda. Ikan yang satu tiba ba'da magrib sebelum isya, malam tadi. Satunya lagi barusan saja, pas santap sahur.
Proses bagaimana sepasang ikan ini bisa berada dan kini tengah berenang-renang dengan asyiknya dalam perutku, tak usahlah kuceritakan di sini. Pasti kau sudah paham betul detil tetek bengeknya. Tapi yang tengah kucoba bayangkan sekarang adalah tentang bagaimana keduanya bisa hidup kembali.
Padahal proses yang telah kita pahami bersama tadi telah benar-benar bikin ikan-ikan ini mampus. Mampus semampus-mampusnya. Dagingnya telah lumat selumat-lumatnya, konon lagi tulang belulangnya tak pernah kuikutsertakan dalam ikhtiar pelumatan itu. Kecuali tertinggal begitu saja dalam piring kotor dan kini telah teronggok agak berantakan di wastafel dekat kamar mandi.
Sungguh, membayangkan sepasang ikan bisa hidup kembali dalam perut adalah sesia-sianya pekerjaan. Aku tahu betul akan hal ini. Namun persoalan jalan pikiran yang tengah menggerayangi benak inilah yang membuatku tak bisa berkutik sama sekali kecuali menuliskannya di sini.
Maka. Sementara aku sendiri tidak habis pikir dengan jalan pikiran sesesat begini rupa. Sementara ikan-ikan masih dengan santainya berenang-renang dalam perutku, seolah-olah mereka tengah berada di lautan lepas yang banyak planktonnya, aku sibuk sendiri. Setidak-tidaknya sibuk melogikakan perkara seajaib ini bisa dicerna dengan baik oleh akal sehat. Ini pekerjaan rumit dan sama tak masuk akalnya, tentu saja. Aku berkali-kali bersendawa karenanya.
Justru persendawaan yang kualami ini pula yang membuatku, pada satu sisi, sedikit berkeyakinan; barangkali ikan-ikan yang kukunyah tadi memang benar telah hidup kembali. Mereka berenang-berenang kesana kemari. Mengibaskan sirip-siripnya dengan rancaknya di lautan enzim amilase, protease, maltase, lipase, laktase dan sukrase.
Di sana sepasang ikan itu bernafas seperti biasanya. Melebarkan insang di permukaan dengan santainya. Meski harus terlebih dahulu bermegap-megap ria demi mencuri oksigen hasil kerja organ pernapasan. Terutama di seputaran diafragma, lantai dasar sepasang paru-paru yang kupunya.
Prosesi bagaimana sepasang ikan itu bisa bertahan hidup paska penghidupannya yang kedua dalam perutku ini, tentulah seburuk-buruk perbuatan. Ini tidak lebih sama dengan cara kerja benalu, lintah, pacat, dan pelbagai jenis makhluk parasit lain yang pernah, sedang, dan akan hidup di muka bumi. Tapi terang saja. Aku tidak bisa menyalahkan ikan-ikan malang sekaligus culas itu begitu saja.
Toh, insting bertahan hidup adalah mutlak dipunyai segala makhluk bernyawa. Tidak terkecuali. Atau kalau pun mesti ada pengecualian, tentu saja tertuju pada makhluk dungu yang tidak pernah tahu menahu akan potensi dirinya dalam bertahan dan mengembangkan hidupnya. Penyakit pengecualian ini, celakanya, banyak diidap oleh makhluk bernama manusia. Aku bersendawa untuk kesekian kalinya.