
BULAN HENDAK kembali menjadi sabit. Menggantung di langit Banda Aceh dalam keadaan kabur dibalut awan kelabu. Cahayanya muram. Penampakannya sewarna bola mata seorang renta yang telah bertahun-tahun berjibaku dengan katarak. Ini adalah malam kesekian Agustus 2022, di mana beberapa hari sebelumnya Indonesia bergegap gempita memperingati 77 tahun umurnya. 77 tahun merdeka dari segala penyakit dan tabiat buruk kolonialisme.
Untuk momen peringatan tersebut, sejak awal bulan Babinsa dan Kamtibmas sibuk berwara-wiri di kampung-kampung, tidak terkecuali juga di setiap sudut kota. Berkoordinasi dengan perangkat desa agar memerintahkan warganya untuk mengibarkan bendera merah putih di depan rumah, toko, jalanan, atau bahkan kenapa tidak di pucuk pohon kelapa.
Demi menunaikan perintah ini, hampir seluruh rakyat Indonesia manut. Mereka tidak mau kena cap buruk seperti dianggap tidak patriotis, tidak nasionalis. Karenanya, asal bendera bisa berkibar tinggi sesuai anjuran, tiang-tiang ditegakkan. Ada yang sengaja bikin khusus dari kayu-kayu terbaik dan menempahnya di usaha ketam kayu. Ada yang menggunakan pipa bulat alumunium penyangga kain gorden alakadarnya. Sementara yang mengikat bendera pada ujung jeuneurob pagar depan rumah hanya dua, tiga warga saja di antara seratusan warga lainnya.
Selain soalan bendera, Agustus adalah bulan dengan banyak macam perlombaan. Hampir tiap kecamatan menyelenggarakan turnamen bola kaki, bola voli, dan lain sebagainya. Semua kampung ikut serta. Memperebutkan Piala Kapolsek atawa Piala Danramil. Untuk jenis-jenis perlombaan dalam rangka peringatan hari kemerdekaan ini, seperti yang sudah-sudah, biasanya dipanitiai oleh segala unsur pemerintahan yang khusus diberi wewenang boleh pegang senjata api. Entah itu yang berseragam coklat, tapi biasanya juga oleh institusi lorengan.
Sipil biasa hanya kebagian sebagai peserta atawa penonton belaka. Atau lebih pasnya boleh dikata sebagai satu-satunya elemen yang bisa diarahkan sedemikian rupa untuk bertindak sebagai indikator meriah tidaknya acara peringatan: yang menuh-menuhin lapangan kecamatan.
Paska momen sakral upacara pengibaran merah putih dengan ritualnya yang sebegitu kaku. Yang menuntut semua pesertanya punya lagak harus sama dengan yang diperlihatkan barisan orang-orang lorengan. Aneka lomba lain lantas digelar lagi. Panggung hiburan dihidupkan untuk mengiring perhelatan aneka lomba itu. Panjat pinang. Tarik tambang. Sepakbola sarungan. Makan kerupuk. Bawa kelereng pakai sendok. Tinju air. Dayung perahu. Tangkap bebek dalam sungai. Tepuk bantal. Adalah rupa-rupa lomba yang lazim diadakan secara paralel. Orang-orang berkerumun di lapangan dan bersorak sorai menyaksikannya jalannya perlombaan.
Yang pasti siapa pun akan terhibur dengan pelbagai bentuk acara tiap bulan Agustus ini. Sejenak orang-orang lena dan dibuai oleh segala kemeriahan, sementara negara tersenyum sumringah seraya berdiri tegak membusung dada. Meski ia tahu benar bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Kecuali dari tahun ke tahun sekujur tubuhnya dihisap sekaligus diracuni oleh banyak rezim.
Rezim yang satu ke rezim lainnya berganti dengan meninggalkan jutaan pekerjaan rumah yang menumpuk di tampuk kekuasaan. Korupsi bersimaharajalela. Cita-cita menyejahterakan seluruh rakyatnya hanya sebatas gumam lirih yang terucap sejak proklamasi, diulang-ulang saban tahun dalam rapalan janji-janji. Tapi alih-alih tercapai cita-cita nan mulia itu, Indonesia malah menemukan diri dijajah oleh anak-anaknya sendiri. Oleh anak-anak (entah jadah?) yang ketika terpilih untuk mengemban amanat rakyat malah semaput dan lupa diri. Durhaka sedurhaka-durhakanya kata ribuan kata durhaka.
Dalam riuh rendah lomba-lomba dan karnaval di jalan-jalan protokol di hampir semua kota, negara tampak cengengesan. Hutang luar negeri melilit. Institusi penegak hukum dipenuhi banyak penyakit. Dan di bawah kibar bendera, centeng-centeng di selingkar tampuk kekuasaan berpesta pora dalam genangan darah dan air mata rakyatnya yang dikuras tanpa jeda. Tak terkecuali pada hari keramat yang diperingati dengan aneka rupa kesenangan kasat mata.
Kabar terakhir; perkara pejabat polisi eksekusi polisi di rumah dinas polisi yang tengah ditangani polisi telah menjerat puluhan petinggi polisi. "Polishit betul negara ini," seorang penyintas DOM di Aceh menanggapi.