Ini adalah keluarga dimana saya dan bang Dedy Kale pernah menyewa bagian dari rumahnya selama 10 tahun lamanya, sejak saya masih kuliah Sarjana dan bang Dedy Kale hingga mendapatkan gelar Magisternya. Itu sebelum saya tinggal di Asrama Aceh Sabena, sekitar tahun 2013.
Rumah dengan dua kamar tidur yang dilengkapi dengan ruang tamu, dapur dan dua kamar mandi itu disewakan pada kami hanya dengan harga satu juta rupiah pertahunnya. Kalkulasi harga yang terbilang sangat aneh, karena saat itu, rumah dengan harga paling murah di Yogyakarta adalah lima juta rupiah. Antara rumah yang kami tempati dan rumah yang ditempati pemiliknya ini saling berdempetan.
Awalnya kami memang heran setengah bingung, tentang mengapa rumah ini disewakan dengan harga sangat murah pada kami dan tidak pada orang lain. Kata ibu suatu waktu, ia terlanjur percaya pada kami, dan sebenarnya ia hanya menyewakan rumah itu pada kami karena ia yakin pada orang Aceh dan bahwa kami bisa menjadi bagian dari keluarga mereka. Sungguh pernyataan yang aneh, kami tidak menyangka alasan seperti itu masih bergentayangan di dunia nyata.
Singkatnya, selama tinggal di sana, kami memang dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka, begitupun kami pada mereka. Kami merasa memiliki keluarga yang telah diduplikat oleh yang maha punya kuasa. Kita pun hidup seperti keluarga cemara lainnya. Selama kami di sana, ibu juga pernah mengaku bahwa ia merasa rumahnya menjadi aman, nyaman dan tidak sepi, kendati bapak sering berada di luar kota. Ya, sesekali kami memang mengaji dan shalat tepat waktu, terutama ketika sedang ada kendala soal keuangan dan persoalan lainnya.
Untuk sedikit berterimakasih pada ibu dan bapak yang telah berbaik hati, saya kerap mengajari kedua anaknya menggambar dan membantu mereka dalam memahami pelajaran sekolah. Saat itu, kedua anaknya yang sering kami panggil Fia dan Azis itu terbilang masih sangat kecil, tidak ketika kami mengunjunginya kali ini. Fia kecil adalah anak yang pintar serta penurut, sedangkan Azis kecil adalah anak yang sangat sulit diajak belajar serius, ia lebih senang diajari sambil bermain.
Kunjungan kami kali ini adalah dalam rangka permohonan izin untuk undur diri atau berpamitan dari Yogyakarta, juga seksligus untuk bersilaturrahmi, setelah sekian lama tidak bertemu, dengan berbagai alasan tentu saja. Secara kebetulan juga bang Dedy Kale juga sedang berkunjung kembali ke Jogja, setelah mengikuti suatu rangkaian acara kampus seni seluruh Indonesia di Surabaya. Ya, sekarang bang Dedy Kale adalah seorang dosen dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, ia menjabat Kepala Jurusan Seni Rupa.
Semalam, ketika saya menyampaikan kata-kata dengan tujuan ingin berpamitan, ibu segera memotong pembicaraan saya. "Ingin berkeluarga juga ya?" Tanyanya. "Insyaallah" jawab saya setengah berdoa. "Ini mbak Fia juga sudah besar" kata Ibu lagi, sambil tersenyum melihat mata saya. Kemudian kami tertawa dan kemudian saya segera mengalihkan pembicaraan.
Entah apa maksud Ibu berkata demikian, namun apapun, semalam saya menaruh curiga padanya; jangan-jangan ia sedang mencoba menggagalkan kepulangan saya ke Aceh. Apalagi secara khusus ibu juga meminta saya berfoto dengan anaknya yang perempuan itu di akhir pertemuan, setelah kita selfa selfi bersama di rumahnya.
Mohon doanya Lem, semoga saya tidak gagal kembali ke Aceh, karena apapun rindu pada kampung halaman, orang tua dan kekasih hati itu jauh lebih magic dan lebih mengandung daya tarik, melebihi kekuatan magnet, ketimbang berada di rantau dengan segala pernak perniknya.