Hujan sore itu turun tanpa aba-aba. Langit yang tadinya hanya mendung tiba-tiba pecah, seolah menumpahkan segala luka yang terlalu lama ditahan. Aku berdiri di halte yang sudah tua, catnya mengelupas, ditemani sepi dan bau tanah basah yang khas.
Sudah hampir dua tahun aku tak kembali ke kota ini. Semua masih tampak sama, tapi rasanya tidak. Bukan karena bangunan-bangunan tua yang tetap berdiri, atau warung kopi di ujung jalan yang masih menjual gorengan lima ratus perak—tapi karena seseorang yang dulu membuat kota ini terasa hidup, kini sudah tak lagi di sini.
Namanya Raya.
Kalau kamu tanya siapa dia, aku mungkin butuh waktu seumur hidup untuk menjawabnya. Dia bukan sekadar mantan. Bukan pula cinta pertama. Dia lebih seperti... rumah. Tempat aku bisa kembali tanpa harus menjelaskan kelelahan, atau menyembunyikan air mata. Tempat segala hal rumit terasa sederhana.
Kami bertemu di bangku kampus, jatuh cinta di antara tumpukan skripsi, dan merajut mimpi di warung kopi pinggir jalan. Impian kami sederhana—punya rumah kecil dengan taman mungil, seekor anjing, dan hidup cukup tanpa harus mengejar dunia.
Tapi dunia ternyata tidak sesederhana mimpi. Setelah lulus, aku ditawari pekerjaan di kota besar. Gaji besar, karier cepat. Tawaran yang sulit ditolak. Raya bilang dia tak apa, katanya cinta itu sabar, dan jarak hanyalah angka. Aku percaya, dan dia pura-pura percaya.
Satu bulan jadi tiga, lalu enam. Telepon menjadi singkat, pesan mulai basi. Aku terlalu sibuk mengejar gelar, bonus akhir tahun, dan segala hal yang dulu kupikir penting. Dan dia... diam-diam pergi. Meninggalkan kota ini, meninggalkan aku.
Hari ini aku kembali bukan untuk reuni, bukan juga karena rindu. Aku kembali karena sebuah surat yang kutemukan di antara tumpukan buku tua saat bersih-bersih apartemen. Surat dari Raya, entah sejak kapan terselip di sana.
"Untuk kamu yang selalu ingin lebih...
Maaf kalau aku tak cukup menantimu.
Aku juga ingin lebih. Tapi lebih tenang, lebih hadir, dan lebih dicintai.
Jika suatu hari kamu kembali, mungkin aku sudah tak di sini. Tapi kamu akan tahu, aku pernah ada—di antara hujan dan kenangan."
Surat itu tak punya tanggal, tapi punya bekas air mata. Atau mungkin bekas hujan yang menetes dari kenanganku sendiri. Yang jelas, setelah membacanya, aku tak bisa tidur nyenyak. Rasanya seperti meminjam waktu yang bukan milikku, dan berutang pada masa lalu yang belum selesai.
Sore ini, aku kembali ke kota kecil yang dulu kusebut rumah. Berjalan kaki menyusuri gang sempit, melewati taman yang dulu sering kami datangi. Semua masih di tempatnya. Hanya saja, dia tidak.
Aku sempat bertanya pada pemilik warung kopi, si Ibu yang rambutnya sudah memutih. Katanya Raya sudah lama pindah. Tidak ada yang tahu ke mana. Tapi ada seorang anak kecil yang sering datang ke sini—berambut keriting, mata coklat pekat, dan senyumnya mengingatkan pada seseorang.
Aku tahu siapa.
Langkahku membeku. Ada sesuatu yang mengendap di dada, seperti air hujan yang tak sempat menguap. Apakah dia sudah menikah? Punya anak? Bahagia? Pertanyaan itu berputar, seperti jarum jam yang terjebak di satu titik.
Di ujung taman, aku melihat bangku kayu yang dulu jadi tempat favorit kami. Masih ada coretan nama—“Raya & A”—tertulis dengan spidol hitam. Hujan sudah memudarkannya, tapi masih bisa terbaca jika didekati.
Aku duduk di sana, membiarkan baju basah dan waktu berjalan pelan. Tak ada yang kutunggu. Hanya ingin tahu, apakah kenangan masih menyisakan ruang untuk orang yang datang terlambat.
“Om... duduk sendiri?”
Suara kecil itu membuyarkan lamunanku. Seorang anak perempuan berdiri di depanku. Rambutnya keriting, pipinya tembam. Ia menatapku dengan rasa ingin tahu yang polos. Di tangannya ada balon berwarna biru, basah oleh gerimis.
“Iya. Om cuma lagi inget sesuatu,” jawabku sambil tersenyum kaku.
“Om nangis ya?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tertawa pelan. “Nggak kok. Cuma kehujanan.”
Dia duduk di sampingku, diam sebentar, lalu berkata, “Kata Mama, kalau kehujanan sambil mikir yang sedih-sedih, nanti hujannya ikutan sedih juga.”
Aku menoleh. “Mama kamu sering ke sini?”
Dia mengangguk. “Dulu sering. Tapi sekarang Mama kerja terus. Katanya supaya bisa bikin rumah yang ada taman kecilnya.”
Aku terpaku. Jantungku berdetak lebih cepat.
“Nama kamu siapa?” tanyaku, pelan sekali.
“Naya,” jawabnya ceria. “Nama Mama... Raya.”
Aku tidak tahu harus tertawa atau menangis. Dunia seperti berhenti sebentar, memberi ruang bagi kenangan untuk kembali, tidak hanya sebagai bayang-bayang—tapi dalam wujud nyata.
Anak itu, Naya, menatapku lama. Lalu berkata, “Om kenal Mama ya?”
Aku hanya mengangguk. Tak ada kata yang cukup.
Dia tersenyum, “Mama pernah bilang, cinta itu kadang pergi dulu... baru balik lagi. Tapi kalau dia benar-benar cinta, dia bakal ngerti arti pulang.”
Dan sore itu, di antara hujan dan kenangan, aku tahu: aku akhirnya pulang. Meskipun rumahnya sudah berbeda, taman mungil itu mungkin belum ada, dan balon biru itu jadi satu-satunya hadiah yang tersisa—tapi aku tahu, cinta belum sepenuhnya pergi.
Kadang, ia hanya sedang menunggu... di bangku kayu, di taman kecil, bersama anak kecil yang matanya seperti milik seseorang yang dulu sangat aku cintai.
---
Kalau kalian suka cerita ini, aku bisa bantu bikin seri lanjutannya atau cerita dengan tema berbeda. Mau lanjut?